Lewat otobiografi ini kita dapat mengetahui riwayat perjalanan hidup syeikhul hadits
dari mulai masa kecil, masa belajar dan mengajar beliau,
kebiasan-kebiasaan beliau, musibah-musibah yang pernah menimpa beliau,
peristiwa kematian orang-orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan
beliau dan pernikahan-pernikahan keluarga beliau.
Kalau buku biografi atau otobiografi yang lain biasanya hanya berisi puji-pujian dan sisi “baik” dari
sang tokoh semata, maka dalam buku ini, Maulana Zakariyya justru lebih
suka menulis sisi-sisi yang beliau anggap “buruk” dalam kehidupan
beliau.
Dari
sini kita justru dapat melihat sosok beliau yang sebenarnya. Sisi-sisi
yang dianggap “buruk” oleh beliau, justru menunjukkan kerendahhatian,
kedisiplinan, keteguhan dan kewaraan beliau dalam meniti kehidupan di
dunia ini. Kualitas seperti ini merupakan buah dari pendidikan dan
latihan yang keras dan panjang dari orang-orang di sekitar beliau,
terutama dari ayah beliau sendiri, Maulana Muhammad Yahya Kandahlawi.
Salah satu sisi “buruk” dalam kehidupan beliau, juga beliau ungkapkan sendiri dalam salah satu bukunya yang lain, Fadhilah Sedekah.
Di masa awal-awal belajarnya, Maulana Zakariyya Kandahlawi sangat
menyukai pelajaran sastra. Untuk bidang ini beliau sampai menghapal dan
menguasai ribuan syair yang baitnya kadang sangat panjang. Nuansa sastra
dan keindahan bahasa beliau sangat terlihat pada buku-buku yang beliau
tulis, beliau sering mengutip syair-syair lama yang sangat indah dalam
berbagai kitab yang beliau tulis.
Untuk
hobi yang satu ini, beliau tidak berani menanyakan sendiri pada sang
ayah, yang terkenal sangat keras dan disiplin, mengenai boleh atau
tidaknya mempelajari dan mendalaminya. Dan karena “penyakit” tidak mau
bertanya ini (yang mungkin bagi kita sangat biasa dan sangat umum)
beliau mendapat suatu pelajaran yang sangat berharga yang tak pernah
terlupakan dalam kehidupan beliau.
Pada
suatu malam, sehabis shalat Isya berjamaah, Maulana Zakariyya muda
berkumpul bersama teman-temannya untuk menghapal dan berlomba membaca
syair. Untuk acara ini, tiga kilo susu disiapkan untuk membuat chai, teh susu khas India, yang merupakan hidangan wajib dalam setiap pertemuan.
Acara
pun kemudian dimulai, belum beberapa lama kemudian, beliau keluar untuk
buang air kecil, tetapi sesampainya di luar, beliau mendapati
pemandangan yang sangat aneh di luar kebiasaan. Di langit sebelah timur,
beliau melihat awan berwarna agak keputih-putihan, beliau lalu
memanggil teman-temannya untuk menyaksikan kejadian tersebut. Keanehan
itu kemudian terjawab ketika beberapa waktu kemudian suara azan
berkumandang dari berbagai penjuru. Awan itu ternyata awan tanda waktu
fajar telah tiba. “Kemana perginya malam itu?”, semua yang hadir heran
dengan apa yang terjadi di malam itu.
Dan pada malam itu pula, paman beliau, Maulana Radhiyul Hasan bermimpi
tentang beliau. Pada mimpi itu, sang paman bertanya, “Zakariyya, kenapa
engkau habiskan malam-malammu dengan perbuatan yang sia-sia?”.
Setelah
kejadian itu, muncullah penyesalan yang luar biasa pada diri beliau.
Setiap kali mengingat peristiwa tersebut, beliau selalu merasakan
ketakutan yang dahsyat mengapa peristiwa malam yang “buruk” tersebut
bisa terjadi dan setelah kejadian itu beliau tak pernah sekali pun mengulanginya membuat acara serupa.
Berbuat
buruk dalam hidup, baik sekali saja, jangan sampai diulang
berkali-kali ! Itulah sekelumit teladan dari kehidupan Maulana Zakariyya
Kandahlawi yang penuh dengan keberkahan.
Bagaimana dengan kita…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar