Sakti “Sheila on 7”
Posted on 15 Januari 2009 by dalamdakwah
Tak terpikir sebelumnya oleh para penggemarkan bahwa Sakti Sheila On 7
akan sedemikian cepat berubah. Jalan hidupnya seperti berputar 180
derajat. Sebuah perputaran hidup yang mengagetkan bagi banyak orang
tapi tidak bagi Sakti. Dengan petikan gitarnya, Sakti turut membawa
Sheila on 7 menjadi salah satu grup band besar di tanah air. Kini
jari-jarinya tak lagi memetik chord lagu-lagu Sheila, tapi ‘chord’
ayat-ayat Allah SWT dan sunah Rasul-Nya demi masuk ke agama tauhid ini
dengan utuh. Wassalam, Abu Izza Adduri Hati Hidayah sungguh sumringah
saat di layar telepon selular muncul nama Sakti. Sedari siang Hidayah
yang mencari Sakti di kota Bandung agak panik, karena telepon selular
mantan pemetik gitar Sheila on 7 itu tak bisa dihubungi. Sehari
sebelumnya ia bilang bahwa tengah berada di daerah Ujung Berung
Bandung, tapi setelah didatangi ternyata dia sudah tidak ada.
“Assalamu’alaikum…maaf Mas, sekarang saya udah pindah. Ada di masjid
Jami Al-Ukhuwwah kompleks Bumi Panyileukan…,” begitu bunyi sms-nya.
Sakti ternyata tengah mengikuti satu kegiatan dakwah dan tarbiyah
sebuah organisasi Islam bernama Jamaah Tabligh selama 40 hari.
Kegiatanyang dinamai khuruj itu mengharuskan pesertanya
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu masjid ke
masjid lain, guna berdakwah dan melatih diri dalam beribadah secara
ihklas kepada Allah SWT. Sehari sebelumnya Sakti memang berada di Ujung
Berung namun pada hari itu ia sudah berpindah ke Panyileukan yang
jaraknya tidak terlalu jauh. Mengenakan gamis putih bergaris-garis,
berkopiah dan bercelana hitam, ia tampak tengah berwudhu bersama para
jamaah yang lain. Dari kejauhan, Sakti terlihat lebih kurus, namun
wajahnya tampak bersih. Jenggot hitam lebat yang memenuhi dagu dan
sebagian pipinya tak mampu menyembunyikan wajah mudanya yang tampan.
Selepas sholat Ashar , Sakti tampak bersalaman dengan imam sholat, ia
lalu beranjak ke pojok masjid mengambil buku Fadhilah Amal. Sesaat
kemudian, pria bernama lengkap Sakti Ari Seno itu duduk menghadap jamaah
dan mulai membacakan beberapa hadist dari buku itu. Jamaah lain
mendengarkan dengan seksama. Suara Sakti terdengar lancar sekalipun
volumenya terdengar perlahan. Bila mengingat Sakti pernah merajai
panggung musik tanah air bersama Sheila on 7, pemandangan itu
menghadirkan perasaan yang lain. Mengawali karier musik lewat album
Sheila on 7 ( 1999 ), yang dilanjutkan dua album lainnya yang meledak di
pasaran, Kisah Klasik Untuk Masa Depan ( 2000 ) dan Anugerah Terindah
yang pernah Kumiliki ( 2000 ), Sakti bersama empat orang karibnya,
Erros, Duta, Adam dan anton, adalah ikon penting musik tanah air waktu
itu. Di setiap sudut negeri, lagiu-lagu Sheila seperti Sephia,
Jadikanlah Aku Pacarmu, Dan, Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki, dan
masih banyak yang lainnya diperdengarkan dan dinyanyikan siapa saja.
Kini pemandangan Sakti yang seperti itu tentulah menghadirkan sebuah
kontras karena orang tahunya ia adalah pemetik gitar kalem. perannya
menjadi warna sendiri di panggung mendampingi permainan gitar Erros yang
atraktif di setiap show Sheila. “Saat ini saya tetaplah seniman, dan
sesekali masih memegang gitar,” ujar Sakti yang jari-jarinya refleks
memperagakan chord-chord gitar di dekat perut seperti memainkan gitar
betulan. namun Sakti mengaku memang mengurangi kegiatan-kegiatan
bermusik dan memperbanyak kegiatan agama karena ia merasa harus lebih
banyak belajar. Menurut Sakti, setiap profesi adalah sah saja hukumnya
asal setiap orang mengetahui apa kebutuhan Allah baginya. ” Artinya
berprofesi sebagai seniman, dosen, dokter atau apa saja, selama kita
mengetahui apa kebutuhan Allah bagi kita, maka kita akan menjadi manusia
yang berbahagia di dunia dan akherat. Seperti almarhum Gito Rollies ,
beliau seniman tapi juga berusaha mengerti apa kebutuhan Allah abeg
dirinya, ” ujar Sakti lagi.
Maut dan Pakistan Sakti memetik cahaya hidayah di kotaa Adisucipto,
Yogyakarta, lima tahun lalu. Saat itu ia bersama Erros akan terbang ke
Malaysia untuk menerima penghargaan musik di negeri jiran itu. Saat
menunggu pesawat, ia masuk ke sebuah toko buku. Matanya tertumbuk pada
sebuah buku berjudul “Menjemput Sakaratul Maut Bersama Rasulullah”.
“Saat itu sedang musim kecelakaan pesawat. Hati jadi tidak menentu,
kepikiran bagaimana kalau pesawat yang saya tumpangi jatuh dan saya
mati, bagaimana nanti jadinya,” ujarnya mengenang. Buku itu lalu ia
beli dan ia bawa kembali saat pulang. Di rumah, perasaannya semakin
trenyuh karena mendapati ibunya sedang sakit lantaran sebelah
paru-parunya mengecil. Pikirannya makin lekat pada kematian setelah
seorang bibinya yang datang menjenguk membawakan sebuah majalah
keagamaan yang juga bicara kematian. Rentetan peristiwa itu memmembuat
Sakti merasa diingatkan Allah tentang kematian, hal yang dulu sama
sekali tak pernah ia pikirkan. “Kita semua akan mati. Masalah waktunya,
kita tak pernah tahu,” ujarnya pelan. Ia seperti tersadar bahwa amal
di dunia sangat menentukan kebahagiaan di akherat. Pikirannya semakin
fokus pada kematian setelah dalam pengajian-pengajian yang ia ikuti ia
memperoleh penngetahuan betapa dahsyatnya kepedihan akherat, dan
sebaliknya betapa indahnya kebahagiaan disana. “ Bila semua
kesengsaraan di dunia ini dikumpulkan apa itu sakit parah, kecelakaan,
tangan putus, tsunami dan sebagainya tidak ada artinya jika
dibandingkan kesengsaraan di akherat yang paling ringan sekalipun,
bagai setitik air di lautan. begitupun sebaliknya, jika semua
kebahagiaan di dunia di kumpulkan tak ada artinya jika dibandingkan
dengan kebahagiaan yang ada di surga Allah,” ujarnya serius. Hal itu
menjadi motor dalam dirinya untuk terus belajar agama. Ia juga mulai
tahu bahwa amal itu tak hanya untuk diri, tapi juga untuk orang lain.
Karenanya, ia ingin seutuh mungkin masuk ke dalam agama Allah yang
rahmat ini, hingga seluruh bagian dirinya termasuk di dalamnya. Sakti
mengibaratkan itu seperti masuk kedalam mobil. “Kan tidak mungkin
tubuh kita sudah masuk mobil tapi kaki kita tertinggal.” ujar ayah
Asyiah Az-Zahra ( 1 tahun ) dan suami Miftahul Jannah ( 23 tahun ) ini
menegaskan. Dengan segala kekuatan hati itu, bisa dimengerti mengapa
Sakti sampai mau melepaskan posisinya sebagai anggota Sheila on 7,
posisi yang diimpikan jutaan anak muda di Indonesia. Menjadi bisa
dimengerti pula mengapa Sakti sampai mau berkeliling dari masjid ke
masjid untuk berdakwah. Keutuhan Islam itu yang kini ia kejar dengan
segiat mungkin belajar dan beribadah. Ia sempat belajar di beberapa
pengajian dari berbagai aliran Islam yang ada. Tapi hatinya kemudian
merasa cocok dengan Jamaah Tabligh/ kepergiannya ke Pakistan tahun
2006 lalu untuk belajar yang banyak diberitakan media sebagai alasan
ia keluar dari Sheila, ternyata tak lain untuk mengejar keutuhan itu.
“Saya ke India, Pakistan dan Baghdad, disana saya melihat bagaimana
agama dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dari situ saya tahu ada hak
tetangga dalam diri kita, ada ajaran kasih sayang pada sesama.”
ujarnya sambil menceritakan bagaimana ia bertemu dengan muslim dari
segala bangsa disana. Sakti sempat ditanya seorang ustadz saat di
Pakistan. bagaimana perasaannya jika melihat orang dekat,keluarga, dan
lain sebagainya jauh dari agama Allah? bagimana rasa kasih sayang itu
harus diwujudkan dalam konteks ini? bagimana rahmat bagi seluruh alam
yang menjadi merk agama ini dapat kamu perankan. Bagaimana perasaan
cinta Nabi kepada Allah yang ditransfer kepada umatnya dapat pula
ditransfer kepada orang di sekeliling kita? Pertanyaan-pertanyaan ini
menjadi kesan tersendiri di hatinya untuk semakin kukuh di jalan
ibadah dan dakwah. Jalan Menuju Kekasih Allah Hubungan karib dengan
teman dan para penggemar memmembuat dua pihak inilah yang paling dulu
mengerti dengan jalan hidup yang ditempuh Sakti sekarang. Sementara
pihak keluarga sebelumnya agak sulit mengerti, tapi kemudian bisa
memaklumi. Dari penggemarnya, Sakti bahkan menerima buku-buku agama
yang dikirim khusus untuknya. Sampai saat ini, Sakti mengaku masih
sering bersilaturahmi dengan teman-temannya di Sheila. Di milis Sheila
gank milik para penggemar Sheila, nama Sakti juga masih sering
disebut. Sekalipun frekuensi pertemuan sudah mulai berkurang, Sakti
mengaku masih saling berpaut hati dengan teman-temannya yang sama sama
merintis karier dari Yogyakarta itu. “Dalam doa, saya selalu menyebut
teman-teman agar mereka bisa di dekatkan dengan Allah,” ujarnya.
beberapa kali Sakti tercatat menjadi bintang tamu konser Sheila. Dua
diantaranya saat konser di sebuah sbegiun swasta dan konser 1000 Gitar
yang diadakan di Yogyakarta tahun lalu. Acara yang melibatkan
beberapa gitaris ternama tanah air itu antara lain Ian Antono ( God
Bless ) , Eet Sjahranie ( Edane ) dan Teguh ( Coconut Treez ) itu,
turut dimeriahkan Sakti yang menjadi tamu misterius berduet dengan
Erros membawakan lagu Little Wings milik Jimi Hendrix. Sakti tampil
dengan menggunakan baju muslim yang sudah jadi pakaiannya sehari-hari.
Dengan seorang temannya, Sakti kini tengah menggarap sebuah album
religi yang ia harapkan dapat dirilis Ramadhan tahun ini. Misinya
mengeluarkan album kali ini dengan mantap, ia sebut sebagai wujud
ibadahnya kepada Sang Rabb. “Materi sedang disiapkan yang isinya
tentang pengalaman dan penyampaian saya tentang keberislaman,” ujarnya
seraya berharap album itu bisa jadi asbab hidayah bagi yang
mendengarkan. Lalu seberapa bahagia Sakti sekarang ? Ia hanya tersenyum
seraya mengucap tahmid. Menurutnya, mengutip perkataan seorang ulama
yang pernah didengarnya, semakin kita mengenal makhluk semakin kita
mengenal allah semakin kita tahu kesempurnaan-Nya dan siapa saja yang
semakin tahu kesempurnaan Allah ia akan tenang dan bahagia. “Dulu saya
tak tahu dimana harus bersandar bila ada masalah, saya juga tak tahu
apa sebenarnya tujuan hidup ini. Tapi setelah diberi kesempatan semakin
mengenal Allah, kita sadar bahwa Dia Maha pengasih, Maha Penyayang
semua makhluk, Maha penjawab setiap doa, kita jadi tahu bahwa Dialah
tempat bersandar yang paling tepat”, ujarnya pasti. Dalam hidup,
menurutnya manusia mengejar rasa. Ketika seseorang ingin punya mobil,
kemudian mendapatkannya, ia pun ingin merasakan merk mobil yang lain.
Begitu pula dalam hal-hal lain. Tapi jika rasa itu diarahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT, maka ketenangan dan kejernihanlah yang diraihnya.
“Itu kata teman saya, ibarat antena bagi televisi. Bila kita benar
mengarahkan antena ke satelit, maka siaran akan jernih dan sebaliknya.
Jika arahnya tak benar maka gambar akan buram. Seperti itu juga kita,
apapun kegiatan kita, jika itu sepenuhnya mengarah kepada Allah maka
hati kita akan jernih, dan jika sudah berpaling maka hati akan menjadi
kotor,” ujarnya lagi. Bagi Sakti, ketenangan itu adalah fitrah yang
dicari semua orang di dunia. Tak ada jalan lain meraih itu selain
mendekatkan diri kepada Allah, karena Dialah sumber kebahagiaan. Dan
pendekatan itu harus dibuktikan dengan amal, harus dicicipi oleh
pribadi-pribadi yang memang menginginkan itu. Untuk menghidupi
keluarganya, Sakti membuka sebuah minimarket dan jasa Laundry. baginya
itu sudah cukup, sekalipun jika dibandingkan dengan uang yang ia
peroleh semasa menjadi artis tentulah tak seberapa. Jalan hidupnya saat
ini adalah sebuah ketentuan-Nya yang ingin selalu istiqomah ia
jalani. “Selalu akan ada ujian dan friksi, tapi bagi saya itu adalah
jalan agar saya selali istiqomah. Ini barangkali sudah takdir. Jika
dulu saya sering pegang gitar sekarang jadi sering pegang begbih,”
ujarnya sambil tersenyum. Tak ada harapan di hatinya selain bisa terus
lebih dekat dengan-Nya dan semakin tahu apa yang Allah kebutuhani
abeg hidupnya. Harapan yang juga pernah dipesankan oleh seorang
penggemar kepadanya, ” Semoga Mas Sakti jadi kekasih Allah….”, Amin ya
Robbal Alamien.
Sumber : Majalah Hidayah Edisi 85, September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar