Imam muslim meriwayatkan hadits dari aisyah rha, rasulullah saw
bersabda, “tiada seorang mayit yang disholati oleh kaum muslimin yang
mencapai jumlah 100 orang yang semuanya mensyafaatinya, kecuali pada
hari kiamat mereka akan mensyafaatinya.” (shohih muslim-Misykatul
Mashobih, no 1661)
Lalu beliau juga menybutkan sebuah hadits Ibnu abbas ra, “sesungguhnya
seorang putranya meninggal dunia di Qudaid atau di Usfan, lalu ia
berkata, Ya Kuraib!! Lihatlah orang-orang yang datang untuk mensholati
mayit dan hitunglah! Kuraib berkata, lalu aku keluar dan tiba-tiba
orangsudah berkumpul. Akupun menghitungnya, lalu aku kukabarkan kepada
Ibnu abbas, lalu dia berkata, “ Apakah kamu berkta mereka 40 orang?”
Kuraib menjawab, “Ya”. Ibnu abbas berkata, “Keluarkanlah mayitnya!
Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “ Tidak ada seorang
pria muslim yang meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40
orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali
Alloh akan memberi mereka syafaat untuk mayit. “ (Shohih
muslim-misykatul mashobih, no.1660).
Imam an nawawi rah dalam riyadhush sholihin, bab Disukai memperbanyak
orang yang sholat atas jenazah dan menjadikan shaf mereka menjadi 3
atau lebih, juga menyebutkan hadits tersebut.
Murtsid bin abdillah al yazani berkata, Malik bin Hubairah ra, apabila
mensholati jenazah, dan ia menganggap jumlahnya sedikit, maka ia
membaginya menjadi 3 shaf, lalu ia berkata, Rasulullah saw bersabda,
Apabila seorang mayit disholati oleh 2 shaf, maka mayit tersebut wajib
masuk syurga. “(Abu dawud, Tirmidzi-Kanzul Ummal. No. 42265)
Imam an nawawi rah dalam membahas hadits nabi saw tersebut menyatakan,
“Tiada seorang mayit yang dihsolati oleh umat muslim yang mencapai
seratus orang, yang semuanya mensyafaatinya, kecuali mereka
mensyafaatinya (pada hari kiamat).” Dan hadits, “Tidak seorangpun yang
meninggal dunia, lalu jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang
tidak menyekutukan Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan mensyafaati
mereka untuk mayit tersebut.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, “Tiga (3) shaf.” Qodhi iyadh rah
berkata, “ KOnon hadits-hadits itu turun sebagai jawaban atas
orang-orang yang bertanya mengenai mayit, lalu setiap pertanyaan
dijawab dengan hadits-hadits tersebut.” (syarah shohih muslim:VII/17)
Demikian pendapat Qodhi Iyadh rah, sehingga mungkin saja Nabi saw
mengabarkan penerimaan syaffat 100 orang, lalu mengabarkan penerimaan
syafaat 40 orang, lalu hanya 3 shaf, meskpin jumlahnya berkurang.
Mungkin juga akan dikatakan bahwa ini adalah mafhum adad yang tidak
dapat dijadikan hujah bilangan tertentu menurut jumhur ulama ushul.
Dengan hasits adanya penerimaan syafaat 100 orang, maka tidak ada
pengharusan syafaat hanya diterima dengan 100 orang yang mensholatinya,
dan menolak syafaat yang lebih rendah darinya. Demikian juga jumlah 40
orang dan 3 shaff. Dengan demikian, semua hadits ini dapat diamalkan
dan syafaat tentu bisa didapatkan dengan kedua jumlah yang paling
sedikity, yaitu 3 shaff dan 40 orang.
Allamah ibnu allan menjelaskan , “Tidak ada pertentangan antara khabar
(hadits) ini dengan khabar sebelumnya, sebab mahfum ‘adad bukan sebagai
hujah, menurut pendapat yang shohih, sebab Alloh mengabarkan kepada
Nabi saw dengan cukupnya jumlah seratus orang yang mensholati mayit,
lalu karunia ini ditambah oleh Alloh Ta’ala dengan mengabarkannya cukup
akan mendapatkan syafaat terhadap mayit dengan orang yang
mensholatinya sejumlah 40 orang. Wallahu a’lam (Dalilul falihiin,
syarah riyadhush sholihin: III/416)
Di dalam nuzhatul muttaqin, para pensyarah berkata, “hadits ini
menunjukkan istihbab yaitu disunnahkannya menjadikan 3 shaf atau lebih
bagi orang –orang yang mensholati jenazah. Meskpiun jumlahnya sedikit,
tetapi mereka terlihat banyaknya dalam penerimaan mereka oleh Alloh swt
dan permohonan syafaat untuk saudara mereka. Tidak ada pertentangan
antara hadits-hadits ini, baik hadits yang menentukan 100 orang, 40
orang, dan 3 shaff, sebab ‘adad (bilangan) tidak memiliki konotasi.
Sedangkan tujuannya adalah al katsrah (banyak).” (Nuzhatul
Muttaqin:I/407).
Pendapat ini sama dengan perkataan alim ulama ushul fikih. Menurut
pendapat yang shohih, bahwa pengertian bilangan bukan merupakan dalil
ketetapan dan tidak bermakna pembatasan.
Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa
ahli dakwah dan tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan
hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan
seterusnya…..???
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah.
Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli dakwah itu sendiri yang
mutawatir, bahwa bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah
tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan
aktivitas dakwahnya..
Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai
pembatasan. Siapa yang ingin keluar di jalan Alloh Ta’ala sehari, maka
tidak ada jeleknya, bahkan terpuji. Dan barangsiapa keluar dijalan
Alloh 4 hari atau 5 hari, maka tidak ada dosa baginya. Bahkan pada
dasarnya, semua waktu itu adalah milik Alloh Ta’ala, agamaNya, dan
dakwah Rasul-Nya.
Hanya karena kelemahan para jamaah dakwah tersebut, mereka mendahulukan
waktu-waktu tersebut, karena waktu-waktu tersebut adalah waktu yang
paling sedikit diatara yang sedikit. Siapa yang ingin meluangkan
waktunya lebih daripada waktu-waktu tersebut, maka pintu dakwah tetap
terbuka..
Bahkan di dalam Alquran, waktu untuk bersungguh-sungguh di dalam
dakwah, tidak kami temukan hitungan waktu yang sedikit ini, seperti 3
hari, 40 hari, atau 4 bulan. Yang kami temukan justru hitungan bilangan
950 tahun, siang dan malam, yaitu waktu dakwahnya nabi Nuh as.
Konsep inilah yang diamalkan dan dijadikan pegangan oleh para ahli
dakwah dan tabligh. Berapa waktu dan cara apapun yang dilaksanakan oleh
pelakunya untuk kepentingan dakwah, itu dapat diterima dan terpuji,
serta sangat disyukuri, baik sejam ataupun dua jam, satu atau dua hari,
sebulan, dua bulan, tiga bulan ataupun empat bulan.
Apabila ahli dakwah dan tabligh memberi semnagat tentang fadhilah
khuruj fi sabilillah selama 3 hari, 40 hari, 4 bulan, maka
bilangan-bilangan tersebut tidak menunjukkan penafikan hukum, bila
khuruj (dakwah) dilakukan tidak dengan waktu-waktu tersebut. Baik waktu
itu melebihi 3 hari, dari 40 hari, ataupun 4 bulan, ataupun kurang
dari waktu-waktu tersebut.
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3
hari, 40 hari, 4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang
tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu
untuk berdakwah di jalan Alloh, tidak berarti menafikkan fadhilah dan
hukum bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau
berkurang.
Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap
akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya. Apabila ia keluar 38
hari sebagai ganti 40 hari, maka ia tetap akan mendapatkan pahala dan
balasan Alloh, karena ia merupakan anugerah Alloh yang diberikan kepada
orang yang Dia kehendaki..
Setiap waktu itu bukan bermakna pembatasan, sebab mahfum ‘adad bukanlah hujjah dan tidak bermakna peringkasan.
Selanjutnya Imam Al –Izz bin Abdissalam di dalam Qowaa’idil Ahkam
memberi isyarat dengan ucapannya tentang bidah-bidah wajibah,
diantaranya yaitu:
Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka
sesuatu itu hukumnya wajib. Dan semua perantara yang dengannya
Kalamullah dan sabda Rasulullah saw dapat dipahami, maka hukumnya
wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang
tidak sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama,
sehingga dengan pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Alloh
dan RasulNya, dan termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan
menyebarkan risalah Nabi saw. Dakwah ilallah serta menyampaikan
risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum
muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk
keberhasilan sesuatu misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk
menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya kewajiban tersebutbergantung
pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil
kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan
kewajiban yang tidak mngkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya.
Misalnya mempelajari ilmu fiqih adalah wajib, karena melalui ilmu
fiqih, hukum-hukum syariat dapat diketahui, dan mempelajari fiqih tidak
mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan mengkhususkan waktu-waktu
tertentu untuk mendapatkannya.
Dalam hal ini, hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Artinya,
wasilah-wasilah itu dihukumi wajib, karena tujuan kewajiban tadi tidak
dapat sempurna kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun,
kecuali mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang
bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas syariah
di al azhar asy syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk
mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di
fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas –fakultas dakwah di
universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi
islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Kami tidak mengira, jika ada orang yang mengaku sudah mempelajari
ilmu-ilmu agama , lalu ia mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah
bidah dan sesat, karena tidak dilakukan pada masa rasulullah
saw..Astaghfirullah..
Selanjutnya Syaikh aiman abu syadi berkata mengenai ini, “Disebut
bid'ah wajibah, yaitu suatu yang dibahas oleh kaidah-kaidah wajib dan
dalil-dalilnya dari syariat, seperti pembukuan alquran dan ilmu-ilmu
syariat yang dikhawatirkan punah. Dan sesungguhnya tabligh bagi
generasi setelah generasi kami adalah wajib secara ijma’ ulama dan
membiarkannya adalah haram secara ijma’. Contoh semacam ini tidak
pantas diperdebatkan kewajibannya…
Imam Al-Izz bin abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risahlah kepda
generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak
sempurna, kecuali melalui wasilah yang dapat mendatangkan, mendorong,
dan menunjukkan kepadanya..
Apabila tabligh tidak sempurna kecuali dengan meluangkan waktu tertentu
dan cara tertentu, maka waktu dan cara tersebut adalah wasilah yang
wajib untuk meraih kewajiban yang mesti dilaksanakan sesuai dengan
kadar kemampuannya..
Sesungguhnya bertabligh itu sah dengan cara dan wasilah yang telah
disepakati dan diketahui oleh para ahli dakwah selama cara dan wasilah
itu masih dalam kerangka syariat..
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi rah'a
telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah
menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Alloh
berfirman,
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (Al maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam
hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan
kepada yang tidak hadir.” (shohih Bukhori, no.6717).
Dan syaikh aiman abu syadi mengungkapan pernyataan imam syatibi rah
tentang penggunaan cara dalam mentablighkan risalah tanpa membatasinya,
beliau mengesahkan setiap wasilah yang berbeda-beda yang mendatangkan
tujuan. Seperti menghafal, berceramah, dan menulis. Lalu beliau
memperluas setiap pernyataannya dengan kalimatnya sendiri,”dan
lain-lain”. Artinya kedangkala wasilah-wasilah tabligh selain yang
disebutkan oleh beliau adalah sah.
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan
segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai,
sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’I, nash, dan maslahat umum,
seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam,
kaset-kaset dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pda masa
dahulu..
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan
waktu untuk mencapai kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa,
sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk mempelajari alquran dan
hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar,
berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun , semua itu termasuk
dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk
khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan kesholihan..
Kami memohon kepada Alloh, agar memperlihatkan kepada kami kebenaran
sebagai kebaran, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat
mengikutinya. Dan Memperlihatkan kepada kami kebatilan sebagai
kebatilan, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat menjauhinya
dengan anugerah dan rahmat-Nya..Amin ya rabbal ‘alamin. (Nazhrah
ilmiah fi ahli tabligh wad dakwah:1/45-59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar